Sinopsis :
Meski kisah “Frankenweenie” merupakan ide orisinal dari Burton, tapi dasar kisah ini tak lain adalah kisah “Frankenstein; or, The Modern Prometheus” yang ditulis oleh Mary Shelley.
Burton tidak hanya membuat terjemahan visual yang sekadar ingin menjiplak cerita dari Shelley. Justru, ia mengambil bagian-bagian ikonik dari kisah ini dan meraciknya dengan penceritaan sendiri. Film ini sangat menarik karena ia membuka kesempatan bagi kita untuk menyaksikan intepretasi baru dari sang “monster” klasik di tangan sutradara visioner ini.
Dalam “Frankenweenie”, melalui bentuk lain, penonton dapat menemukan diri Victor Frankenstein sang ilmuwan dalam Victor (Charlie Tahan) muda yang sangat suka bereksperimen serta makhluk ciptaannya dalam diri Sparky sang anjing kesayangan.
“Frankenweenie” adalah film yang tidak boleh dilewatkan. Melalui film ini, Burton yang pulang ke akarnya dengan menampilkan animasi stop-motion yang gelap dengan cerita kelam kembali mengingatkan kita bahwa ia merupakan seorang pencerita ulung. Ia mampu memasukkan unsur horor, kematian, dan petaka, sambil tetap membuat film yang bernyawa dan memiliki hati.
Secara visual, “Frankenweenie” jelas membawa ciri khas yang kental dari sebuah film Tim Burton. Selain itu, “Frankenweenie” juga menampilkan kecintaan Burton yang sangat besar pada sinema.
Cuplikan adegan "Frankenweenie" (Dok. Disney)
“Frankenweenie” sendiri merupakan film hitam putih seperti “Ed Wood”, tokoh utama yang dihadirkannya merupakan sosok penyendiri yang dianggap tak biasa oleh lingkungan sekitar.
Biarpun begitu, “Frankenweenie” tak hanya merujuk pada film-film buatan Burton saja. Film yang punya aura nostalgia yang kuat ini juga memasukkan elemen-elemen cerita dari berbagai film horor seperti “Horror of Dracula” (1958), “The Mummy” (1932), “Daikaijû Gamera” (1965), “The Bride of Frankenstein” (1935), “Gremlins” (1984), dan tak lupa, “Frankenstein” (1931) dan kincir angin yang berdiri anggun di atas perbukitan kota New Holland.
Hanya saja mungkin lumayan banyak penonton tidak tertarik dengan “Frankenweenie” karena film ini merupakan film hitam putih. Tapi, keputusan Burton untuk kembali ke warna monokrom sama sekali tidak mengurangi kualitas visual. padahal film “Frankenweenie” ini sendiri merupakan sebuah film animasi stop-motion dengan efek 3D yang sangat baik. Tanpa harus jor-joran menampilkan 3D sebagai efek tambahan dalam kisahnya.
Kisah pesahabatan antara Victor dan Sparky membuat kisah dalam “Frankenweenie” begitu berwarna. Walaupun bercerita tentang kematian, “Frankenweenie” berhasil tampil sebagai sebuah film yang begitu hidup dan mengharukan.
Download linksnya silahkan menikmati.....
part 2
part 3
part 1
Link deat comen yah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar