1. Pendahuluan
Gerakan reformasi
mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada
pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law).
Sebelum reformasi, praktik pemerintahan cenderung diwarnai
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut
membuat masyarakat tidak percaya pada aparat pemerintah, sehingga untuk
memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan pemerintahan yang baik
dan bersih (good governance) melalui upaya penegakan asas-asas
pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.
Dalam
rangka menegakkan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan
pelayanan publik kepada masyarakat, maka diperlukan keberadaan lembaga
pengawas yang secara efektif mampu mengontrol penyelenggaraan tugas
aparat penyelenggara negara. Selama ini, pengawasan secara internal
dinilai kurang memenuhi harapan masyarakat dari sisi obyektifitas dan
akuntabilitas. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar
mekanisme pengawasan pemerintahan bisa diperkuat dam berjalan secara
lebih efektif untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, transparan dan
responsif terhadap kebutuhan publik.
2. Pengawasan Sebelum Reformasi
Sebelum
reformasi, sistem pengawasan diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres)
nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum tersebut tidak memberikan
keterangan yang tegas dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan
pengertian pengawasan itu sendiri.
Menurut George R.
Terry, pengawasan adalah `Control is to determine what is accomplished
evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result
in keeping with the plan.` Sedangkan Newman berpendapat bahwa `Control
is assurance that the performance conform to plan.` Kemudian, Siagian
memberikan definisi tentang pengawasan bahwa proses pengamatan daripada
pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan.[2]
Dari pengertian diatas terlihat
bahwa pengawasan dititikberatkan pada dua hal, yakni pada proses
pelaksanaan kegiatan dan pada tahap evaluasi serta koreksi terhadap
pelaksanaan kegiatan. Kedua aspek pengawasan tersebut dilakukan untuk
menjamin agar pelaksanaan suatu tugas berjalan sesuai dengan tujuan dan
hasil yang telah direncanakan.
Pengawasan, juga membutuhkan beberapa unsur, yakni :
Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas
Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap proses kegiatan yang sedang berlangsung atau yang telah dilaksanakan
Pengawasan dapat ditindaklanjuti secara administratif maupun yuridis.[3]
Ada
tiga jenis mekanisme pengawasan yang dikenal umum. Pertama adalah
pengawasan melekat. Bentuk pengawasan ini merupakan suatu mekanisme
pengawasan yang mengombinasikan sistem manajemen dan sistem pengawasan
atasan langsung. Di dalam pengawasan ini, diharapkan
kekurangan-kekurangan dalam suatu instansi pemerintahan dapat
diselesaikan dengan cepat, murah dan efisien. Akan tetapi, fakta di
lapangan menunjukkan penggunaan pengawasan melekat sulit dilakukan dalam
lingkungan mental-mental aparatur negara yang dinilai koruptif.
Penitikberatan
pada atasan inilah yang menjadi kendala besar untuk melaksanakan
pengawasan melekat dalam suatu lembaga pemerintahan. Padahal tujuan dari
adanya pengawasan melekat adalah untuk menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan,
profesional dan memiliki budaya kerja yang baik. Bagaimana dapat
menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan, profesional kalau
orang-orang di dalamnya pun masih bermental money oriented,
menghalalkan segala cara dan bertendensi melakukan praktek-praktek
korup. Mereka lupa bahwa menjadi aparat pemerintah bahkan menjadi
pejabat adalah menjadi pelayan publik.
Bentuk
pengawasan lainnya dalam melakukan mekanisme pengawasan terhadap setiap
tindakan pemerintah adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional
yang mana merupakan bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh
suatu lembaga independen yang memang sengaja dibentuk untuk mengawasi
lembaga tertentu menjadi pilihan awal daripada pengawasan melekat.
Berdasarkan Inpres No. 15 tahun 1983, subyek yang melaksanakan fungsi
pengawasan fungsional adalah:
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Inspektorat Jenderal Departemen, aparat pengawasan lembaga non departemen/instansi pemerintah lainnya
Inspektorat wilayah provinsi
Inspektorat kabupaten/kota.[4]
Lembaga
Pengawas Struktural, seperti Inspektorat Jenderal, selama ini tidak
bisa mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari
kelembagaan/departemen terkait. Lagi pula pengawasan yang dilakukan
bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan
pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri. Kemudian,
Lembaga Pengawas Fungsional, seperti Badan Pengawasan dan Pemeriksaan
Keuangan, meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran
pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi
pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani
keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran
rutin maupun pembangunan.
Kondisi ini membuat lembaga
pengawasan struktural maupun fungsional tidak berjalan dengan baik.
Bahkan, ada kecenderungan lembaga-lembaga tersebut malah larut dalam
prilaku koruptif birokrasi sehingga, pengawasan tidak pernah dijalankan
secara serius dan keluhan-keluhan baik yang berasal dari internal
birokrasi maupun dari eksternal (masyarakat) tidak dapat ditindaklanjuti
secara serius.
3. Munculnya Lembaga Pengawas Eksternal
Ketatanegaraan
Indonesia menampilkan wajah baru setelah perubahan UUD 1945, yang
secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002.
Reformasi konstitusi di era transisi itu, relatif mampu meletakkan
sistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada
kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum
amandemen, UUD 1945 hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih
demokratis.[5]
Salah satu kecenderungan wajah
ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945
adalah lahirnya lembaga-lembaga `eksternal` yang memiliki kewenangan
untuk mengawasi institusi negara (pemerintah). “komisi negara
independen” (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non
struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch
agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan berlomba
menghadirkan komisi negara. Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari
kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi
pasca pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah
lunturnya kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional.
Ketidakpercayaan publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi
negara yang diidamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya.[6]
Jeremy
Pope dalam buku berjudul Pengembangan Sistem Integritas Nasional
secara sederhana menguraikan bahwa pada saat warga negara melihat ada
sesuatu yang salah, ketidakpuasan bermunculan, dan keluhan terhadap
lembaga birokrasi pemerintahan tidak ditanggapi, padahal pada saat yang
sama sistem penegakan hukum yang menjadi tumpuan akhir memperoleh
keadilan sangat lamban, mahal, bersifat publik, dan jauh dari kemudahan
(not-user friendly), maka saat itulah Ombudsman mulai banyak dilirik
orang.[7]
Kondisi negara yang secara ilustratif
diuraikan Jeremy Pope tersebut sangat relevan untuk menggambarkan
keadaan negara Indonesia pasca reformasi dimana birokrasi masih dinilai
sebagai institusi yang korup, tidak efektif dan tidak responsif terhadap
kebutuhan publik. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat tidak
percaya pada birokrasi pemerintahan. Sikap tidak puas bahkan mengarah
pada sikap tidak percaya pada birokrasi merupakan sikap yang
membahayakan bagi keberlangsungan pembangunan. Karena bagaimanapun,
birokrasi merupakan tulang punggung jalannya roda pemerintahan. Baik
buruknya pemerintahan tergantung pada kualitas birokrasinya. Sehingga,
adalah suatu keharusan untuk merebut kepercayaan publik terhadap
birokrasi. Kepercayaan ini penting agar kedepannya, masyarakat dapat
bekerjasama dengan aparat birokrasi sehingga bermanfaat bagi proses
jalannya program pemerintahan.
4. Lembaga Ombudsman
Untuk
mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi, salah satu langkah
penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi adalah dengan
memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga
pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada
masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan
Presiden nomor 44 tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat
dalam bentuk Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008.
Secara
internasional, tidak kurang 65 negara kini memiliki lembaga Ombudsman
yang keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi. Ombudsman di
negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti Finlandia, Swedia, dan
Norwegia, dinamai “Parliamentary Ombudsman”. Ini terkait dengan para
anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan mereka
sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan
untuk mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim yang
terbukti korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa
Timur, termasuk Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi
negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan
Selandia Baru. Negara-negara Afrika yang tergolong sebagai negara
berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai Gading, Burkina Faso
dan Kamerun, juga mempunyai Ombudsman.[8] Sehingga, pilihan Indonesia
untuk membentuk lembaga Ombudsman tidak terlepas dari trend
internasional yang memilih strategi model Ombudsman untuk memperbaiki
kualitas pemerintahannya, terutama di negara-negara yang sedang berada
dalam proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi.
Pembentukan
lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan,
yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum
yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan
pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan
kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi
seluruh warga negara.
Kedua, bahwa pengawasan pelayanan
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik,
bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip
demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah
dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara
negara dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian
dari pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat aktif untuk melakukan
pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga akan lebih menjamin
penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi,
kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini
merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta
diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan
oleh aparatur negara dapat diminimalisasi.
Dalam UU
Ombudsman ditegaskan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk
yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Sasaran utama kerja Ombudsman adalah praktek
maladministrasi, yakni perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi
tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Terdapat beberapa tujuan pembentukan Ombudsman :
Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;
Mendorong
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien,
jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Meningkatkan
mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan
penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin
baik;
Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk
pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi,
diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Selanjutnya,
dinyatakan dalam pasal 2 UU Ombudsman bahwa Ombudsman merupakan lembaga
negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan
lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan
lainnya. Kemandirian dan independensi Ombudsman dimaksudkan agar dalam
melaksanakan tugasnya Ombudsman dapat bersikap obyektif, transparan, dan
mempunyai akuntabilitas kepada publik.
5. Fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman
Ombudsman
berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta
badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu.[9]
Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut :
Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
Melakukan
koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga
pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
Membangun jaringan kerja;
Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.[10]
Dalam menjalankan fungsi dan tugas, Ombudsman berwenang:
Meminta
keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau
pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada
Ombudsman;
Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain
yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu
Laporan;
Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi
dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan
dari instansi Terlapor;
Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
Membuat
Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. [11]
Selain itu, Ombudsman berwenang:
Menyampaikan
saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara
Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau
prosedur pelayanan publik;
Menyampaikan saran kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah
Maladministrasi.
Melihat fungsi, tugas dan wewenang
Ombudsman tersebut, jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk
membantu upaya pemerintah dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan.
Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang menerapkan
prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan
pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk
untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah.
Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin
melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat
dilaksanakan secara optimal.
Anggota Ombudsman terdiri
dari 9 komisioner. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh
Presiden.[12] Tugas mulai untuk mengawasi aparat pemerintah,
mengharuskan komisioner Ombudsman haruslah orang yang cakap, jujur,
memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.
Komisioner juga tidak boleh menjadi pengurus partai politik untuk
menjaga kemandirian lembaga.
6. Ombudsman dan Antikorupsi
Salah
satu tujuan pembentukan Ombudsman dalam UU adalah untuk memberantas dan
mencegah korupsi dikalangan aparat pemerintah. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa melenyapkan korupsi sampai ke akar-akarnya tidak cukup
hanya dengan tindakan represif dengan memberikan hukuman kepada pelaku
korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk tindakan
yang komprehenshif, meliputi pencegahan, penindakan, dan perbaikan.
Ombudsman
merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan
ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain,
yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya meliputi Komisi
Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh
Informasi dan sebagainya.
Disamping peran dan
kewenangan sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga
berperan dalam proses pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan,
sebagaimana ditunjukkan oleh TAP MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Komisi Ombudsman Nasional
dilihat sebagai dua lembaga yang sama-sama berperan dalam Pemberantasan
dan Pencegahan KKN, tetapi masing-masing diberi tugas dan kewenangan
untuk memberantas dan mencegah KKN dari sudut dan melalui jalur yang
berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan
berperan memberantas KKN yang merupakan tindak pidana, dan karena itu
bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal pemeriksaan dan
penuntutan perkara pidana korupsi, yang bahkan dapat
menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan itu, maka Komisi Ombudsman
Nasional memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN dari jalur yang lain,
yaitu melalui jalur administrasi dan Penyelenggara Negara, serta melalui
pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good
Governance).[13]
Kwik Kian Gie pernah berpendapat
bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari membersihkan manusia
agar bebas korupsi atau setidaknya takut melakukan korupsi. Ia kemudian
menawarkan konsep pemberantasan korupsi dengan menggunakan metode
pemberian carrot and stick. Menurut Kwik Kian Gie, memberi kesejahteraan
dan mempertegas hukuman (carrot and stick) bagi penyelenggara
negara/pemerintah seharusnya menjadi starting point yang sangat penting
dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan
perbaikan perangkat hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan
keputusan dan transparansi.
Pada tahap inilah, peran
Ombudsman sangat dibutuhkan. Sebab selain “menghukum” para pelaku
korupsi, tidak kalah penting adalah mengawasi proses pemberian hukuman
tersebut apakah sudah sesuai prosedur atau sarat dengan berbagai
penyimpangan. Sehingga dalam hal ini, Ombudsman lebih berperan untuk
melakukan pencegahan secara dini agar dalam setiap aspek pemberantasan
korupsi tidak terjadi penyimpangan atau maladministrasi. Oleh karena
itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses
pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi, Ombudsman
lebih berperan guna mencegah terjadinya perilaku koruptif setiap
aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas
dasar pemikiran bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan
memperbaiki sistem pelayanan umum. Pendapat ini dibangun dengan asumsi
bahwa sistem pelayanan umum (termasuk proses penegakan hukum) menjadi
tidak berjalan secara baik karena didalamnya sarat dengan
praktek-praktek penyelenggaraan negara yang koruptif. Sehingga apabila
proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian rupa, maka setidaknya
dapat mencegah adanya peluang bagi penyelenggara negara melakukan
tindakan-tindakan yang koruptif.[14]
Berbeda dengan
tindakan hukum (repressive) bagi Koruptor, maka pencegahan (prevention)
terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya
secara langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah
praktek-praktek koruptif dalam proses pemberian pelayanan umum seperti
misalkan permintaan uang dalam pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan
lainnya, tentu lebih banyak orang yang merasakan dampaknya. Dengan
demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di Indonesia dapat memperoleh
pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak resmi yang memberatkan.
Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi sebagai bagian
penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin melengkapi dan
memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini akan semakin
memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang
komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif),
dan perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan
peran masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi
sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir
(perbaikan).[15]
7. Ombudsman di Daerah
Untuk
konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk
yang sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah
maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman nasional secara
cepat dan murah. Dalam konteks otonomi daerah, dimana hampir seluruh
kewenangan public administration dilimpahkan ke daerah, maka harus
dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah yang independen. Pelaksanaan
desentralisasi kekuasaan yang tidak diikuti dengan pembangunan sistem
akuntabilitas dan pengawasan eksternal yang kuat cenderung akan
mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi.[16]
Sebagai
lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan
umum, dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah, Ombudsman daerah
berperan di baris paling depan guna mencegah terjadinya korupsi dan
perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara pemerintahan daerah.
Peran Ombudsman daerah dalam proses pencegahan korupsi dimulai dengan
mendorong upaya perbaikan sistem pelayanan umum pemerintahan daerah
dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
8. Penutup
Secara
universal diakui bahwa pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk
melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah. Rekomendasi Ombudsman
meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti
(morally binding). Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana
Lembaga Peradilan akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur negara.
Dengan memperkuat pengawasan, diharapkan pemberian pelayanan kepada
masyarakat akan lebih meningkat kualitasnya. Memperoleh pelayanan secara
baik dari Penyelengara Negara merupakan sebuah permasalahan penting
saat ini yang harus kita atasi. Institusi Ombudsman ingin mengembalikan
paradigma bahwa sesungguhnya lembaga pengawasan memiliki peran strategis
untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang baik.
Terkait
pemberantasan korupsi, pendekatan yang dilakukan Ombudsman berbeda
dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti KPK, kejaksaan atau
kepolisian. Fungsi Ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi
guna memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai
tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan,
efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
9. Daftar Pustaka
9.1. Daftar buku :
Hadjon, Philipus M, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Muchsan,
2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Sujata, Antonius, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerinthan Yang Bersih, Komisi
Ombudsman Nasional, Jakarta
Sujata, Antonius,2002, Ombudsman Indonesia, Masa Lalu, Sekarang dan Masa
Mendatang. Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta
9.2. Daftar peraturan perundang-undangan:
Instrruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII tahun 2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan pemerintahan Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
9.3. Makalah dan Internet :
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 2005, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik.
Indrayana, Denny, 2007, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan.
Lesmana, Tjipta, 2004, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan, Sinar Harapan.
Masduki, Teten, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya.
Sujata, Antonius, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi.
www.ombudsman.go.id
[1]
Peneliti Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Mahasiswa program master, Graduate School of International
Development, Governance and Law Program, Nagoya University, Jepang.
[2]
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000.
hal. 36.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Denny Indrayana, Komisi Negara, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, 2007.
[6] Ibid.
[7] Antonius Sujata, Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi, www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 24 Februari 2010.
[8] Tjipta Lesmana, Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan, Sinar Harapan, 2004.
[9] Pasal 6 UU No. 37 tahun 2008.
[10] Pasal 7 UU No. 37 tahun 2008.
[11] Pasal 8 UU No. 37 tahun 2008.
[12] Pasal 14 No. 37 tahun 2008.
[13]
C.F.G. Sunaryati Hartono, Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara
Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi Ombudsman
Nasional, Jakarta, 2005. hal. 134.
[14] Antonius Sujata, op.cit.
[15] Ibid.
[16] Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar